akucintaislami.com - Perempuan berstatus janda makin banyak di Pontianak. Rustam A. Kadri, Humas Pengadilan Agama Kelas I-A Pontianak mengakui bahwa kasus perceraian masih menjadi perkara dominan yang ditangani pihaknya.
“Untuk 2016 misalnya, dari 1.599 perkara yang masuk, 1.239 perkaranya adalah kasus perceraian baik itu cerai talak ataupun cerai gugat,” ungkapnya. Ia menjelaskan, sesungguhnya banyak perkara yang disidangkan di Pengadilan Agama. Bukan hanya perceraian. Mulai dari urusan pembagian warisan, isbat nikah, izin anak di bawah umur untuk menikah hingga pengajuan izin berpoligami.
“Dan seperti dalam UU No. 3 tahun 2006, bahkan peradilan agama juga memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara terkait ekonomi syariah,” tambah Rustam.
Berdasarkan data yang dipegangnya, ia menjelaskan, angka perceraian di kota Pontianak cenderung meningkat meski pada 2016 menurun dari tahun sebelumnya. “Untuk tahun 2015 jumlahnya mencapai 322 cerai talak dan 1.048 cerai gugat, sementara tahun 2016 menurun menjadi 237 cerai talak dan 1.002 cerai gugat,” terangnya.
Klarifikasi cerai talak dan cerai gugat adalah berdasarkan pihak yang mengajukan perceraian. Cerai talak merupakan perceraian dimintakan oleh pihak suami, sementara cerai gugat adalah perceraian yang diajukan oleh pihak istri.
“Memang dari tahun ke tahun, permintaan perceraian ini lebih banyak diajukan oleh pihak istri,” beber Rustam.
Terkait penyebab perceraian, ia menyatakan, data untuk tahun 2016 belum selesai direkap. Namun, jika merujuk data pengadilan agama pada beberapa tahun sebelumnya, penyebab utama perceraian adalah tidak adanya lagi keharmonisan dan tidak adanya tanggung jawab.
“Kalau tidak harmonis ini misalnya ketika baru nikah rukun, tapi kemudian sesudah berjalan sekian tahun mulai tidak sejalan. Atau seperti banyak terjadi sekarang, dengan kecanggihan tekhnologi, ada SMS masuk dari cewek, dibaca istri kemudian cemburu, lalu bertengkar,” papar Rustam. Ia menyebut, ketidakharmonisan yang menjadi penyebab perceraian ini biasanya tertuang dalam gugatan bersifat umum dan memiliki rincian beragam.
Untuk penyebab lainnya, yaitu kurangnya tanggung jawab jamak diajukan pihak istri atau cerai gugat. “Ketika suami tidak memiliki kesungguhan untuk memenuhi tanggung jawabnya membahagiakan istri, malas berkerja dan sebagainya,” tukasnya.
Yang menarik, dari lima besar faktor penyebab perceraian kurun dua tahun terakhir, tidak adanya tanggung jawab dan gangguan dari pihak ketiga mengalami peningkatan signifikan. Jumlah kasus perceraian karena tidak adanya tanggung jawab naik sekitar 40%. Sementara, pernikahan yang harus berakhir akibat kehadiran orang ketiga bertambah hingga 70%.
Sementara, terkait usia mereka yang mengajukan perceraian, Rustam mengaku Pengadilan Agama Kelas I-A Pontianak belum melakukan klasifikasi tersebut. Karenanya, ia belum bisa mengkonfirmasi pada usia berapa paling dominan terjadinya perceraian.
“Tapi kalau berdasarkan pendangan kita di lapangan, bahkan yang tua-tua juga banyak yang datang ke sini untuk bercerai,” ucap Rustam. Pada tahun 80-an, lanjut dia, pernah dilakukan penelitian di Sambas terkait rentang usia dominan perceraian. Memang menunjukkan tingginya angka perceraian pasangan berusia muda.
“Tapi itu rasanya dahulu ya, mungkin karena anak mudanya masih labil. Kalau sekarang informasi sudah sangat maju dan berkembang, jadi anak-anak muda pemahamannya soal keluarga jauh lebih baik,” tandasnya.
Di sisi lain, tingginya angka perceraian orangtua ini diyakini berdampak buruk bagi anak mereka. Apalagi, jika diiringi dengan pertengkaran yang disaksikan langsung oleh anaknya. Kehilangan figur dan panutan, anak lah korban psikologis terparah dari perpisahan itu.
Meski masih Balita, di usia anak belum mengerti bahasa verbal, ketika melihat kedua orangtuanya bertengkar mereka bisa mengerti kengerian ekspresi ayah dan ibunya itu. "Saat mata melotot, mimik marah, kalau anak melihat tentu akan ketakutan. Termasuk yang bawah lima tahun," ungkap Psikolog dari RSIA Anugerah Bunda Khatulistiwa Pontianak, Maria Nofaola, dihubungi Rakyat Kalbar, Sabtu (4/2).
Kemudian, keadaan serupa lebih dirasakan anak 5- 10 tahun. Di usia ini, tentu mereka bisa mengerti bahasa yang digunakan orangtuanya ketika bertengkar. "Itu biasanya akan melekat pada anak tersebut, dia tidak ceria ketika di sekolah, menjadi sensitif," paparnya.
Dengan keadaan demikian, lanjut dia, ketika anak tersebut beranjak dewasa, akan tersisa trauma yang menjadikannya bersifat penakut. "Biasanya akan takut ketika melihat sosok tertentu, misalnya sama perempuan atau laki-laki," tandas Maria.[klprtl]
loading...